Hasil Padi Surplus, Dedi Mulyadi: Purwakarta Tak Perlu Beras Impor

https: img.okeinfo.net content 2018 01 23 525 1849086 hasil-padi-surplus-dedi-mulyadi-purwakarta-tak-perlu-beras-impor-jikp1zJssy.jpg

Produksi pertanian, khususnya padi di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, pada 2017 lalu mengalami surplus. Dengan begitu, sampai saat ini ketahanan pangan di wilayah itu masih terjaga.

Surplusnya hasil produksi pertanian ini bukan tanpa perjuangan. Pasalnya, pemerintah melalui dinas terkait terus menggenjot para petani dalam hal peningkatan indeks pertanaman (IP). ‎Alhasil, sejak beberapa tahun ini petani di kabupaten ini tak kenal lagi dengan yang namanya musim tanam.

Dengan kondisi tersebut, Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi ‎pun berpendapat, untuk saat ini wilayahnya belum membutuhkan kiriman beras impor. Karena, ketersediaan bahan pangan di Purwakarta masih tetap terjaga.

“Impor beras belum perlu. Di kita masih surplus,” ujar Dedi kepada Okezone, Selasa (23/1/2018).

Terkait hal tersebut, Dedi pun sambung saran. Menurutnya, ‎tidak perlu ada impor beras. Tapi, menyikapi hal ini seluruh stakeholder hanya perlu mengubah regulasi dan pengelolaan distribusi beras.

“Jadi, selama ada stok di Gudang Bulog dan petani, saya kira tidak perlu impor beras. Ubah saja regulasi dan pengelolaan distribusinya,” katanya.

Jadi, kata dia, ‎jangan lagi beras dari satu daerah, misalnya dari Indramayu, dikirim ke pasar Induk Jakarta, sebelum kebutuhan beras di wilayah penghasilnya terpenuhi.

“Selama ini kan hasil pertanian diangkut ke pasar induk dulu. Di sisi lain, kita abai terhadap kebutuhan beras di daerah yang menjadi penghasil beras,” seloroh dia.

Dengan kata lain, ‎kata dia, jangan sampai kebutuhan ke pasar induk terpenuhi. Di sisi lain warga di sentra beras sendiri, malah makan raskin. Makanya, pola seperti ini harus segera diubah.

Dia, mengaku heran dengan keadaan tersebut. Seperti Indramayu dan sekitarnya misalnya, dikenal sebagai basis lumbung padi nasional. Ironisnya, anomali ketersediaan beras bagi masyarakatnya justru terjadi di wilayah itu.

“Pola seperti ini juga yang harus diubah. Selama ini, para buruh tani yang dari mulai menanam hingga memanen, hanya dibayar dengan uang.‎ Uang yang mereka dapat untuk dibelikan beras. Kalau bisa memroduksi beras, kenapa harus beli beras?. Petani, seharunya punya cadangan beras yang cukup,” seloroh dia.

Jadi, menurut dia, pola pertanian yang berbasis upah yang masih terjadi di beberapa wilayah penghasil beras berimbas pada harga beras yang menjadi mahal di pasaran.

“Mahalnya beras itu karena terlalu banyak biaya yang tidak perlu. Padi ditanam, dipanen, dan digiling lalu diangkut ke mobil para bandar. Setelah sampai di kota, berasnya dijual lagi ke daerah. Ya, beras jadi mahal,”tegasnya.

“Untuk pengelolaan pangan, saran saya belajarlah pola yang digunakan masyarakat kampung adat. Misalnya, mereka yang ada di Cipta Gelar, Sukabumi. Meski di perkampungan, masyarakat di sana tak pernah kekurangan beras,” pungasknya.

Sumber : okezone.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar