Neraca perdagangan Indonesia di awal tahun ini tidak menggembirakan. Impor melonjak tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan kenaikan ekspor yang signifikan. Nilai impor Januari 2018 mencapai US$ 15,13 miliar atau naik 26,44 persen dibanding Januari 2017 secara tahunan (year on year/yoy), sedangkan ekspor tercatat US$ 14,46 miliar atau hanya naik 7,86 persen (yoy). Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2018 defisit sebesar US$ 677 juta, terbesar sejak April 2014.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa defisit neraca perdagangan pada Januari dipicu oleh defisit sektor minyak dan gas (migas) sebesar US$ 859,5 juta, walaupun neraca perdagangan sektor nonmigas surplus US$ 182,6 juta. Ekspor nonmigas Januari 2018 mencapai US$ 13,17 miliar, turun 1,45 persen dibanding Desember 2017 dan naik 8,57 persen dibanding Januari 2017.
Dilihat dari kontribusinya terhadap ekspor keseluruhan Januari 2018, kontribusi ekspor nonmigas produk industri pengolahan adalah 73,05 persen dan ekspor produk pertanian 1,78 persen. Kontribusi ekspor produk pertambangan dan lainnya sebesar 16,28 persen, dan kontribusi ekspor migas adalah 8,89 persen.
Peningkatan impor nonmigas terbesar Januari 2018 dibanding Desember 2017 adalah kendaraan dan bagiannya US$ 167,9 juta (31,81 persen), sedangkan penurunan terbesar adalah golongan kapal laut dan bangunan terapung sebesar US$ 136,5 juta (74,06 persen). Nilai impor tercatat cukup tinggi untuk semua golongan penggunaan barang. Impor barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal selama Januari 2018 masing-masing naik 32,98 persen, 24,76 persen, dan 30,90 persen dibanding Januari 2017 (yoy).
Neraca perdagangan Januari 2018 sebenarnya masih berada dalam kondisi sehat. Hal itu terlihat dari tingginya impor bahan baku dan barang modal yang menjadi penyebab defisit. Defisit itu menggambarkan impor yang lebih tajam pada kebutuhan barang dalam negeri untuk produksi, yakni bahan baku dan barang modal.
Meski begitu, pemerintah harus menjaga kondisi neraca perdagangan agar mencetak surplus pada tahun ini dengan meningkatkan ekspor. Di sisi lain, peningkatan arus modal masuk harus dilakukan agar defisit yang berasal dari impor barang modal tidak menimbulkan persepsi meningkatnya risiko eksternal (external risk).
Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan sejak 2015. Bahkan surplus neraca perdagangan tahun lalu yang terbesar, yakni US$ 11,84 miliar, dibandingkan tiga tahun sebelumnya. Untuk mengulang sukses surplus neraca perdagangan, tidak ada cara lain selain menggenjot kinerja ekspor. Total nilai ekspor Indonesia pada 2017 mencapai US$ 168,73 miliar atau meningkat 16,22 persen dibanding tahun 2016.
Kinerja neraca perdagangan Indonesia tahun ini akan menghadapi sejumlah tantangan. Perlambatan ekspor akan terjadi karena efek pergerakan harga komoditas. Kenaikan harga komoditas diperkirakan tidak setinggi tahun lalu. Pada awal tahun ini harga-harga komoditas relatif naik sedikit dibandingkan awal 2017 yang cenderung overshooting seperti harga batu bara, minyak mentah, dan minyak sawit (CPO).
Tahun lalu, nilai ekspor CPO menembus US$ 22,97 miliar, naik 26 persen dibandingkan 2016 yang hanya mencapai US$ 18,22 miliar. Nilai ekspor CPO Indonesia tahun 2017 merupakan tertinggi sepanjang sejarah.
Namun, pada tahun ini kinerja ekspor CPO akan menghadapi tantangan sangat berat. Volume ekspor CPO berpotensi turun tajam apabila parlemen Eropa menyetujui penghentian penggunaan minyak kelapa sawit dalam campuran bahan bakar transportasi pada 2021. Keputusan parlemen Eropa ini akan menjadi pukulan besar bagi Indonesia sebagai pengekspor minyak sawit terbesar di dunia.
Dengan kenaikan harga komoditas yang terbatas dan adanya ancaman dari parlemen Eropa, pemerintah harus menempuh berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja ekspor nonmigas. Upaya tersebut misalnya meningkatkan nilai tambah barang ekspor dan mengurangi ekspor bahan mentah. Pemerintah dapat memberikan insentif kepada investor agar mau membuka usaha atau pabrik guna mendukung peningkatan ekspor barang jadi.
Upaya lain adalah mencari mitra dagang baru. Selain untuk mengantisipasi apabila terjadi perlambatan pertumbuhan di salah satu negara tujuan utama, upaya ini juga bertujuan untuk memperluas pasar ekspor. Pencarian pasar baru di luar tiga negara pasar utama–Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang–dapat ditempuh dengan mengincar pasar negara Eropa Timur, Afrika, dan Timur Tengah.
Melemahnya kinerja ekspor telah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Presiden sangat kecewa dengan kinerja ekspor Indonesia yang kalah dari negara-negara tetangga. Bahkan presiden mempertanyakan peran Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) yang dinilainya tak optimal dan hanya menghabiskan anggaran.
Dibandingkan negara-negara tetangga, nilai ekspor Indonesia pada 2016 hanya US$ 145 juta atau kalah dari Vietnam (US$ 160 juta), Malaysia (US$ 184 juta) dan Thailand (US$ 231 juta). Padahal, jumlah penduduk di negara-negara tersebut jauh lebih sedikit dari Indonesia.
Indonesia patut mencontoh keberhasilan negara-negara tetangga tersebut dalam menggenjot ekspor. Mereka lebih agresif dalam membuat perjanjian perdagangan multilateral dengan negara-negara lain dalam rangka meningkatkan ekspor. Indonesia sudah hampir 10 tahun tidak membuat perjanjian perdagangan, kecuali tahun lalu dengan Chile. Sedangkan negara-negara tetangga yang telah mengungguli Indonesia itu sebelumnya sudah terlebih dahulu membuka diri dengan menawarkan sejumlah kemudahan. Jadi, sudah sepantasnya jika mereka saat ini memetik hasilnya.
Untuk memaksimalkan kinerja ekspor melalui perjanjian perdagangan, kendala yang dihadapi Indonesia tidak saja persoalan eksternal, seperti negara-negara yang mulai menerapkan proteksionisme. Persoalan internal di kementerian maupun kelembagaan juga menjadi kendala yang membuat ekspor belum bisa maksimal. Untuk itu, pembenahan internal harus dilakukan terlebih dahulu sebelum menjalin kerja sama perdagangan dengan negara lain.
Sumber : beritasatu.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi

Tinggalkan komentar