Salah satu faktor penyebab lamanya pembahasan RUU Pengampunan Pajak beberapa bulan lalu ialah alotnya negosiasi antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai tarif tebusan repatriasi. Singkat cerita pemerintah dan DPR akhirnya sepakat tarif tebusan untuk repatriasi sebesar 2% untuk 3 bulan pertama, 3% untuk tiga bulan berikutnya, dan 5% di tiga bulan terakhir.
Dengan rendahnya tarif tebusan repatriasi, besar harapan pemerintah agar Warga Negara Indonesia (WNI) yang selama ini menempatkan aset mereka di luar negeri merepatriasi aset mereka kembali ke Indonesia. Untuk mendukung keberhasilan program ini pemerintah bahkan menyiapkan instrumen khusus untuk menampung aset dari para peserta pengampunan pajak yang akan direpatriasi.
Lalu apakah segala bentuk privilege yang ditawarkan dalam amnesti pajak mampu menarik perhatian WNI untuk memulangkan hartanya ke Tanah Air? Belum tentu.
Setidaknya ini bisa dilihat dari sepinya peminat repatriasi dalam dashboard tax amnesty. Sampai dengan 13 September 2016, nilai repatriasi yang diterima Direktorat Jenderal Pajak baru mencapai Rp 18,9 triliun atau hanya 1,89% dari target repatriasi amnesti pajak yang mencapai Rp 1.000 triliun hingga 31 Maret 2017.
Maka tidak heran Bank Indonesia buru-buru merevisi estimasi dana repatriasi yang akan masuk ke Indonesia. Estimasi awal yang memperkirakan dana repatriasi mencapai Rp 560 triliun direvisi BI menjadi Rp 180 triliun. Minimnya arus dana repatriasi yang masuk salah satunya disebabkan harta WNI di luar negeri telah menjadi aset tetap. Ditambah banyak dari mereka lebih memilih untuk mendeklarasikan hartanya dibandingkan repatriasi.
Lebih mengejutkan, ditengah usaha pemerintah merepatriasi aset WNi ke dalam negeri, jumlah orang Indonesia yang meletakkan aset di luar negeri justru malah bertambah. Menurut data Bloomberg jumlah orang Indonesia yang membeli properti di Singapura meningkat sampai dengan pertengahan Agustus 2016. Angka ini lebih tinggi dibandingkan penjualan properti di tahun lalu.
Kondisi ini tentu sangat disayangkan karena bertolak belakang dengan semangat program amnesti pajak. fakta di atas sekaligus menunjukkan sampai saat ini WNI cenderung masih memilih meletakkan asetnya diluar negeri dibandingkan di dalam negeri. Melihat keadaan ini sulit berharap dalam jangka waktu tujuh bulan ke depan target repatriasi dalam program amnesti pajak akan tercapai.
Kegagalan merepatriasi akan menjadi kerugian besar bagi program amnesti pajak mengingat potensi penerimaan negara dari repatriasi aset sangatlah besar. Hal ini berdasarkan studi Tax Justice Network yang menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang banyak menaruh dananya di negara tax haven.
Langkah strategis
Meski demikian, usaha untuk merepatriasi aset WNI yang berada di luar negeri harus tetap dijalankan meski program amnesti pajak telah selesai. Dikarenakan banyak manfaat yang bisa didapat dari proses repatriasi ini, khususnya untuk penerimaan pajak. Italia berhasil merepatriasi aset warga negaranya dan mendapatkan tambahan penerimaan pajak sebesar € 4 miliar. Sementara di Afrika Selatan, otoritas pajak berhasil menemukan US$ 2,09 miliar uang warga negaranya yang disimpan di luar negeri.
Kami menilai agar para WNI tertarik merepatriasi asetnya beberapa langkah strategis perlu diambil pemangku kepentingan di tahun-tahun mendatang. Pertama, menjaga stablitas makro ekonomi. Masih tingginya ketergantungan pada ekspor komoditas dan impor bahan baku menjadi dua hal yang berpotensi menganggu stabiliats makroekonomi di masa depan. Stabiliatas makroekonomi akan mempengaruhi terhadap pandangan WNI yang ingin memulangkan aset untuk diinvestasikan di Indonesia.
Kedua, pendalaman pasar keuangan. Semakin dalam pasar keuangan semakin banyak pilihan investasi yang dapat digunakan untuk menampung modal yang balik ke dalam negeri. Saat ini Indonesia berada pada peringkat 58 dalam hal daya saing jauh dibawah negara tetangganya Singapura (peringkat3) ataupun Malyasia (peringkat 36).
Salah satu instrumen keuangan yang layak dikemabngkan adalah pasar obligasi. Saat ini pasar obligasi Indonesia cenderung tertinggal dibanding negara di regional Asia. Ukuran pasar obligasi pemerintah Indonesia hanya berkisar 14% terhadap PDB. Angka inii lebih rendah dibandingkan Malaysia (54%) atau bahkan Filipina (28%), obligasi swasta lebih rendah lagi ukuran pasarnya hanya mencapai 2% terhadap PDB, jauh tertinggal dengan tetangga serumpun Malaysia yang telah mencapai 48%.
Pengembangan pasar obligasi membutuhkan koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter. Saat ini, kebijakan fiskal dan monoter belum mendukung satu sama lain bergerak. Sebagai contoh, kebijakan moneter yang melonggarkan likuiditas di pasar akhirnya harus kembali terserap ke obligasi negara akibat kebijakan yang memberikan imbal hasil tinggi pada obligasi negara. Likuiditas yang lebih banyak mengalir ke obligasi negara menyebabkan tidak berkembangnya pasar obligasi swasta akibat sepi peminat.
Ketiga,yang tidak kalah penting ialah menjaga stabilitas politik dan keamanan. Betul saat ini kondisi politik dan keamanan cenderung stabil, namun jangan dilupakan Indonesia pernah dua kali kecolongan dalam mempertahankan stabilitas politik dan kemanan.
Pertama tahun 1960, saat terjadi kekerasan terhadap etnis Tiongha, dan kembali terjadi di tahun 1998. Kedua peristiwa itu akhirnya mengharuskan WNI memindahkan asetnya ke Singapura yang dianggap lebih aman dan stabil iklim politik. Kondisi ini akhirnya berlanjut sampai sekarang.
Masalah repatriasi aset memang masalah pelik, karenanya dibutuhkan kerjasama berbagai pemangku kepentingan. Namun jika semua pihak terkait mau bekerja sama dan mengedepankan kepentingan bersama tentu manfaat repatriasi untuk Indonesia akan lebih besar. Italia dan Afrika Selatan sudah menikmati hal ini, sekarang giliran Indonesia.
Sumber : Harian Kontan 22 September 2016
Penulis : Yusuf Rendy Manilet
Sumber: http://www.pengampunanpajak.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Pengampunan pajak
Tinggalkan komentar