
Tugas pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, berlangsung setengah jalan. Setidaknya sudah ada dua kali bongkar pasang personel di Kabinet Kerja dengan tujuan agar pemerintahan bisa bekerja lebih cepat, efektif, dan solid.
Presiden ingin program-program yang ia janjikan selama masa kampanye bisa berjalan. Karena itu, para menteri dibebani target ambisius, terutama bidang infrastruktur.
Di satu sisi, bongkar pasang personel di kabinet ini menunjukkan kesan pemerintah tak mau sekedar bagi-bagi jabatan kepada partai politik pendukung. Artinya orang yang tidak bisa ikut ritme kerja pemerintahan dan memenuhi target-target yang dipasang Presiden, harus rela menyingkir dari kabinet.
Namun, risiko dari bongkar pasang personel di kabinet ini memang bisa kontra produktif seperti yang dikhawatirkan oleh pengamat. Orang yang baru masuk kebinet harus melakukan akselerasi dan penyesuaian diri dengan program-program yang diinginkan Presiden.
Misalnya, di satu sisi Presiden mengintruksikan agar seluruh instansi pemerintah memangkas jalur birokrasi. Tapi di sisi lain instansi-instansi ini juga dibebani oleh setoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Beban itu membuat mereka kreatif membuka jalur-jalur guna memungut penerimaan Negara.
Padahal sekat-sekat birokrasi itu yang menghambat masuknya investasi ke dalam negeri. Walhasil niat Presiden agar Indonesia masuk peringkat 40 besar negara dengan kemudahan berbisnis atau ease of doing business jadi berat.
Presiden menyebut masih ada menteri, dan bawahannya yang masih membuat aturan-aturan penghambat kemudahan bisnis. Dalam sidang Kabinet Selasa (4/4) presiden menyampaikan, agar kementerian tidak lagi membuat aturan yang menambah ruwet. Sebab ada 23 aturan yang menurut pantauan Presiden justru menghambat investasi.
Ada 15 kementerian yang menjadi pelaku pembuat aturan ruwet ini. Menurut Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki, terbanyak berasal dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.
Lalu apakah ini sinyal untuk mengocok ulang formasi kabinet? Atau langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah mulai pesimistis dengan target-target ambisius selama ini?
Paling tidak pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun depan tak secerah harapan. Jika semula optimistis di atas 6% belakangan direvisi jadi 5,6% saja. Apakah pemerintah mulai realistis?
Sumber : Harian Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Pemeriksaan Pajak
Tinggalkan komentar