
Mengecewakan! Inilah penilai terhadap rapor pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I 2017 yang mencapai 5,01%. Hingga kini masih menjadi tanda tanya besar mengapa upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi dengan cara membangun mega proyek infrastruktur dalam dua tahun terakhir tak kunjung menunjukkan hasil ?
Hingga kini masih jadi perdebatan dan mencari tahu apa yang salah dengan perekonomian indonesia. Pemerintah mengakui belanja negara kurang ampuh menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi. Sementara konsumsi masyarakat juga kurang bergairah.
Loyonya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia pada paruh pertama tahun ini seolah menjadi biang kerok utama semua industri. Semisal industri jamu sekelas Nyonya Meneer yang terpaksa gulung tikar lantaran terbelit oleh utang, juga disebut sebagai salah satu terdampak lesunya daya beli. Meskipun kenyataannya berenergi dan aneka suplemen bertajuk herbal, ketimbang menenggak jamu tradisional.
Penjualan mobil dan mobil yang tidak bisa kencang juga menyalahkan daya beli yang lesu. Padahal orang tentu sudah merasa cukup jika sudah punya satu mobil atau dua motor karena toh enggak ada tempat lagi untuk memerkir.
Ada fakta lain yang belum diulas. Dana masyarakat di perbankan menurunkan catatan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per Juni 2017 mengalami kenaikan sebesar Rp 230.829 triliun jika dibandingkan dengan Desember 2016. Artinya dana sebesar itu ngedon di bank tidak dibelanjakan. Apalagi statistik perbankan Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan penyaluran kredit baru sepanjang Januari-Mei 2017 cuma sebesar Rp 46,603 triliun meskipun ada lonjakan aliran dana tabungan.
Mengapa perbankan terkesan ogah-ogahan menyalurkan kredit? Apakah cukup menempatkan lonjakan dana masyarakat itu ke instrumen Surat Utang Negara dan menyerahkan pemerintah untuk mendanai proyek sehingga mereka tinggal ongkang-ongkang terima riba ?
Disisi lain, entah kita sadari atau tidak, rata-rata belanja untuk internetan di tiap keluarga sepanjang patuh pertama tahun ini lebih besar jika dibandingkan dengan tahun lalu. Bisa jadi belanja untuk internet dan data seluler lebih dari Rp 300.000. Apalagi jika memlihara lebih dari satu telepon seluler per anggota keluarga, jumlahnya pasti lebih besar.
Hal ini tergambar dari lonjakan pendapatan perusahaan seluler dari bisnis data. Telkom Tbk misalnya pada paruh pertama tahun ini mengoleksi pengahasilan dari data sekitar Rp 17,82 triliun, atau naik 18% ketimbang tahun lalu. Kalau digabung dengan jasa lain seperti internet, TV kabel dan jasa teknologi informasi lainnya bisa mencapai Rp 33,9 triliun atau skitar 52% dari pendapatan semester I 2017.
Gambaran sama terjadi pada perusahaan operator telekomunikasi lain seperti PT XL Axiata Tbk yang mengumpulkan pendapatan data Rp 5,8 triliun atau naik 62% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Sedangkan PT Smartfren Telecom Tbk mencatat lonjakan penghasilan dari bisnis data sebesar 43,88% menjadi Rp 1,9 triliun. PT Indosat Tbk yang mengeluhkan ketatnya persaingan di bisnis data masih mencatatkan pertumbuhan bisnis 8,5% pada paruh pertama tahun ini.
Data lonjakan penggunaan internet ini agak cocok dengan rekaman Badan Pusat Statistik yang menyebut industri ini masih tumbuh kencang bareng industri logistik pada semester I 2017. Cuma daya ungkit dua sektor ini ke pertumbuhan ekonomi sangat kecil.
Sumber: Tabloid Kontan 14 Agust-20 Agust 2017
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan komentar