Cara Hebring Menjaring Miss Jinjing

Hasil gambar untuk bea cukai bandara

Tahun 2017 tinggal tiga purnama lagi. Namun, realisasi penerimaan perpajakan hingga Agustus masih tipis. Hingga delapan bulan di tahun 2017, realisasi penerimaan perpajakan baru 53% dari target atau Rp 780 triliun.

Realisasi penerimaan yang masih mini itu membuat Kementerian Keuangan melakukan extra effort dalam mengejar target. Tak terkecuali Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC). Salah satunya dengan memperketat pengawasan buah tangan penumpang yang pulang pelesiran dari luar negeri.

“Kami memperketat sekaligus sosialisasi ke masyarakat bahwa ada aturan tentang pengenaan pajak terhadap barang belanjaan penumpang di luar negeri,” kata Deni Surjantoro, Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi DJBC.

Beleid ini tertuang di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 188/PMK 04/2010 Pasal 8 tentang Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas, dan Barang Kiriman. PMK mengatur, bea masuk barang impor dikenakan jika nilai barang di atas US$ 250 per orang dan US$ 1.000 per keluarga atau setara Rp 13,4 juta, untuk setiap kedatangan.

Nah, selama ini penegakan aturan itu masih rada longgar. Ambil contoh di Bandara Soekarno Hatta, dari total rata-rata dari luar negeri sebanyak 31.600 orang per hari, Kantor Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta baru melakukan penegakan kepada 50-an penumpang. Secara persentase masih bawah 0,1%. “Penerimaan bea cukai dari barang penumpang Januari-Agustus ini baru Rp 6 miliar,” ujar Denny.

Tentu angka itu masih relatif sangat kecil. Denny pun mengakui, selama ini penerimaan pajak dari barang penumpang memang belum signifikan untuk yang menambah setoran ke kas negara. Karena itulah satu lini ini yang disisir Bea Cukai.

Selain buat menambah penerimaan negara, kebijakan ini penting buat melindungi industri dalam negeri. “Juga melindungi masyarakat dari barang berbahaya,” katanya.

Karena itulah Bea Cukai menargetkan pengawasan masuk nya hampir semua jenis barang yang dibawa penumpang dari luar negeri. Sebut saja produk mode, seperti tas, baju atau gadget, siap-siap distop di bandara. Terlebih bila barang-barang itu produk branded.

Contohnya, belum lama ini, petugas Bea Cukai Bandara Soekamo Hatta menarik pajak tas bermerek milik penumpang pesawat. Video penarikan pajak itu sempat beredar dan viral di media sosial. Tas merek Chanel dari Singapura tersebut seharga kurang lebih SG$ 7.000 atau setara dengan Rp 69 juta. Setelah dihitung oleh petugas Bea Cu kai, tas itu dikenakan pungutan pajak dan bea masuk Rp 27,8 juta. Lumayan besar bukan?

Kendati potensi tangkapannya lumayan, namun potensi tidak terbayar juga besa.

Sebab, menurut Denny, selama ini, cukup banyak modus penumpang menghindari pajak. Salah satu modus paling umum adalah memakai produk tersebut saat di bandara, sehingga seolah-olah bukan barang baru “Di sinilah butuh kejelian petu gas,” ucap Denny.

Tidak hanya memeriksa fisik barang, baru atau lawas, petugas juga harus memeriksa apa kah barang itu masih ada kardus lengkap dengan nota atau invoice atas pembelian barang itu. “Bila terbukti baru, tentu kami kenakan pajak,” jelasnya.

Naikkan threshold

Denny sendiri tak menampik tindakan tegas DJBC ini kerap mendapat protes dari masyarakat. Antara lain protes menyangkut besaran pungutan batas nilai barang yang bebas bea masuk.

Menghadapi protes itu, DJBC merespon dengan positif. Saat ini internal Bea Cukai tengah membahas besaran pungutan dan batas nilai barang yang terbebas dari bea masuk.

Ada rencana menaikkannya. Usulannya, batas bebas bea masuk belanja perorangan naik menjadi US$ 500, dan US$ 2.000 setara Rp 26,8 juta, untuk belanja rombongan keluarga.

Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi menyebut, revisi batasan ini menyesuaikan dengan kondisi perekonomian di Indonesia. Ia menjamin, pemerintah tidak akan menaikkan threshold terlalu tinggi, misalnya mencapai US$ 2.500 per orang. Masuk

Pasalnya, jika barang yang diimpor adalah barang-barang yang bisa diproduksi dalam negeri, maka pengenaan threshold yang terlalu tinggi bisa berdampak negatif terhadap produk yang dihasilkan industri lokal.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mendukung rencana pelonggaran nilai barang bebas bea masuk. Ia menilai, batasan sekarang terlalu rendah sehingga mendiscourage kelas menengah sebagai pendorong konsumsi.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprind) Roy N. Mandey juga mengaku tak masalah dengan rencana itu. Dia yakin hal itu tidak akan merugikan pengusaha ritel di Indonesia. Yang penting, ada sosialisasi agar tidak memicu kegaduhan.

Sumber : Tabloid Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar