
Pemerintah mengatur sanksi administrasi pajak jadi lebih fleksibel. Sebelumnya sanksi bunga atas denda administrasi yang ditetapkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebesar 2%.
Nah, melalui Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja pemerintah menetapkan sanksi administrasi perpajakan per bulan yakni dengan memperhitungkan tingkat suku bunga acuan ditambah persentase tertentu dan dibagi dua belas.
Secara rinci, aturan tersebut setidaknya berlaku bagi dua jenis sanksi administrasi perpajakan. Pertama, sanksi bunga atas kurang bayar pajak karena penetapan Surat Ketetapan Pajak (SKP) punya formula suku bunga ditambah 10% dibagi dua belas.
Kedua, sanksi bunga atas kekurangan bayar karena pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan SPT masa.Nah, dalam UU itu besaran tarif sanksi per bulan dihitung dari kalkulasi suku bunga acuan ditambah 5% dibagi dua belas.
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, dengan adanya skema sanksi administrasi pajak yang berubah dari rezim fixed rate menjadi flexible rate itu akan membuat skema sanksi lebih ideal. Karena pergerakannya akan mengikuti suku bunga acuan pasar.
Menurut Bawono, skema tersebut juga akan menjamin bahwa wajib pajak akan tetap memprioritaskan pelunasan pajak sebelum utang usaha. Alasannya, tetap relatif lebih tinggi dibandingkan suku bunga pasar.
Bawono menegaskan, hal yang lebih penting ialah bahwa dengan adanya skema flexible rate tersebut akan lebih menjamin asas proporsionalitas. Sanksi yang terlalu tinggi, memberatkan, dan tidak proporsional akan cenderung mendorong ketidakmauan masyarakat untuk berpartisipasi dalam sistem pajak.
“Dengan adanya sanksi administrasi yang lebih fleksible dan bersifat proporsional, akan tercipta suatu kepatuhan secara sukarela,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Kamis (8/10).
Sumber: kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan Balasan