Harga minyak bakal terus naik apabila Amerika Serikat merealisasikan ancaman sanksi ekonomi kepada Iran.
Konflik yang kembali memanas di Timur Tengah menjadi ketidakpastian baru bagi keamanan dunia. Pemicunya tak lain adalah serangan koalisi Amerika Serikat, Inggris dan Prancis yang didukung oleh Israel, ke beberapa titik-titik penting di Suriah.
Koalisasi Barat plus Israel ini mengklaim serangan ini merupakan balasan atas tindakan rezim Presiden Bashar al-Assad yang mereka tuding telah melakukan serangan kimia di Kota Douma, pada 7 April 2018. Douma merupakan salah satu wilayah Suriah di pinggiran Damaskus, yang hingga saat ini masih dikuasai oleh pemberontakan.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengklaim serangan yang mereka lakukan bertujuan untuk menghentikan produksi, dan penyebaran penggunaan senjata kimia. Amerikapun menghujani Suriah dengan rudal Tomahawk. Trump menegaskan serangan Amerika cs ini akan terus dilakukan hingga pemerintah al Assad menghentikan penggunaan senjata kimia.
Tak selang berapa lama, kaki tangan AS di Timur Tengah, yakni Israel, menyambut genderang perang Trump ini dengan menghujani pangkalan-pangkalan udara dan kantong militer di Damaskus dan Homs dengan rudal. Meskipun pihak Suriah mengklaim rudal itu bisa dihadang dengan cemerlang oleh pertahanan udara mereka.
Cara Amerika Serikat dan sekutunya yang main tangan sendiri ini menuai kencaman keras. Terutama rekanan rezim al Assad seperti Rusia, Iran, juga terakhir China. Apalagi hubungan antara Rusia dengan Amerika Serikat maupun Inggris saat ini sedang dalam kondisi paling buruk, terutama setelah terjadinya pembunuhan mantan agen Rusia di Inggris yang dituding Inggris ada keterlibatan pihak Kremlin.
Meski mengecam keras aksi AS dan sekutunya yang semena-mena menyerang Suriah, Rusia tampaknya masih menahan diri tidak mengintruksikan serangan balasan. Apakah serangan balasan yang semena-mena menyerang Suriah, Rusia tampaknya masih menahan diri tidak mengintruksikan serangan balasan. Apakah serangan balasan yang langsung dilakukan oleh Suriah, atau melalui faksi-faksi lain semisal Hisbullah atau mitra lain di Timur Tengah seperti Iran.
Ketegangan inilah yang membuat Presiden Indonesia ke kenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) prihatin. SBY khawatir aksi saling mengancam antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden AS Donald Trump, membuat konflik berkepanjangan dan bisa memicu peperangan yang kebih besar.
Karena itulah, SBY menyerukan Dewan Keamanan PBB menyelesaikan konflik ini dengan tindakan nyata. Pemerintah Indonesia pun aktif mendorong PBB mengambil tindakan untuk menghentikan konflik.
Mulai membakar minyak
Konflik di Suriah ini tak cuma terjadi di medan perang. Amerika Serikat tengah berupaya menekan pendukung Bashar al Assad seperti Rusia dan Iran. Tekanan itu berupa pengenaan sanksi-sanksi sepihak, dengan mengungkit-ungkit program nuklir milik Iran.
Kondisi ini memanaskan pasar minyak mentah global. Di satu sisi, Iran merupakan salah satu negara penyuplai minyak mentah terbesar ke empat di dunia. Walhasil isu sanksi Amerika terhadap Iran ini membuat harga minyak melambung.
Kantor berita Reuters Kamis (19/4) menyebut, harga minyak jenis Brent terkerek naik akibat konflik di Suriah ini. Harga minyak berjangka ICE Brent Crude Energy Future c1 mencapai US$ 74,73 per barrel, tertinggi sejak November 2014.
Anwiti Bahuguna, Manajer Portofolio Senior di Columbia Threadneedle Investments Boston seperti dikutip CNBC menyebut, lonjakan harga ini terjadi lantaran ada kegelisahan pasar tentang apa yang mungkin terjadi dan potensi meningkatnya eskalasi konflik.
Hanya saja, ia memperkirakan lonjakan harga minyak sifatnya hanya sementara. Saat tanda-tanda konflik mereda, biasanya harga minyak akan melandai dan kembali turun.
Negara-negara produsen minyak dunia yang tergabung dalam OPEC lantas menggelar pertemuan untuk menyikapi dampak konflik ini. Mereka sepakat akan melakukan review tingkat produksi pada Juni 2018 mendatang, agar bisa menciptakan kestabilan harga di pasar.
Maklum, harga minyak yang melonjak tinggi akan menyulitkan negara-negara net importir minyak bumi. Sebaliknya bagi negara seperti Arab Saudi, dan produsen minyak dengan kategori net eksportir akan senang.
Arab Saudi bakal gembira saat harga minyak mentah mencapai US$ 80 atau bahkan US$ 100 per barel. Karena itu, mereka diprediksi tak akan menambah produksi yang bisa menyebabkan harga minyak turun.
“Saudi dan rekan-rekan mereka di OPEC membutuhkan harga minyak yang lebih tinggi untuk memperbaiki posisi fiskal mereka,” kata Greg McKenna, kepala strategi pasar di broker berjangka AxiTrader seperti dikutip Reuters.
Dalam catatan Internasional Energy Agency (IEA), mulai Maret terus terjadi penurunan produksi minyak global. Misalnya terjadi penurunan produksi di Venezuela yang mengalami penyusutan sebesar 77.000 barel per hari, hingga produksinya hanya 1,5 juta barel per hari.
Georgi Slavov, kepala penelitian di broker Marex Spectron menambahkan, pasokan minyak mentah drai negara OPEC bakal makin seret jika Amerika Serikat merealisasikan sanksi mereka kepada Iran, yakni melarang ekspor minyak mentah dari negeri itu.
Sumber: Harian Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi
Tinggalkan Balasan