JAKARTA. Mahkamah Agung (MA) dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) telah menghapus kewajiban pembayaran pajak air yang harus ditanggung PT Freeport Indonesia senilai Rp 3,9 triliun.
“Membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.79871/PP/M.XVB/24/2017, tanggal 18 Januari 2017,” demikian bunyi amar putusan seperti yang dikutip dari situs MA, Selasa (24/4).
MA beralasan, Freeport dan pemerintah RI telah terikat perjanjian Kontrak Karya (KK) yang berlaku khusus bagi kedua belah pihak. Sehingga pajak air yang diterapkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua dinyatakan tidak berlaku. Kontrak Karya Freeport bersifat khusus yaitu lex specialis derograt lex generalis dan berlaku sebagai Undang-Undang (UU) bagi pembuatnya (vide 13338 ayat (1) KUHPerdata).
Apalagi kontrak Karya Freeport telah disetujui Pemerintah RI, mendapat rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan instansi terkait dari pemerintah pusat sampai daerah. Termasuk adanya surat Menteri Keuangan Nomor: S-1032/MK.04/1988 tanggal 15 Desember 1988.
Dengan pertimbangan itu, MA berpendapat Freeport tidak mempunyai kewajiban membayar pajak air yang dikenakan Pemprov Papua melalui SKPD-PAP 973/1783. Dengan begitu maka gugatan yang diajukan Pemprov Papua terhadap Freeport terkait tuduhan tidak membayar pajak air tidak berdasar.
Supriatna Suhala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menilai, dalam Kontrak Karya generasi I, pajak daerah dibayar langsung US$ 10.000 per tahun. Namun, ketentuan ini diubah dalam Kontrak Karya Generasi V tahun 1992. “Tapi saya tak tahu persis ada poin yang berubah atau tidak terkait pajak daerah ini,” ujarnya kepada KONTAN, Selasa (24/4).
Menurut Supriatna, bila pemerintah pusat ingin pemerintah daerah punya kewenangan menarik pajak daerah kepada perusahaan pertambangan, maka Kontrak Karya harus diubah terlebih dahulu.
Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso mengatakan, pada dasarnya memang seharusnya pemerintah pusat dan daerah menghormati Kontrak Karya sebuah perusahaan, terlepas hal tersebut menguntungkan atau merugikan. “Indonesia masih harus belajar membuat sebuah kontrak/perjanjian yang melindungi publik,” jelasnya.
Sumber: Harian Kontan
Kategori:Pemeriksaan Pajak
Tinggalkan Balasan