Kementerian LHK melempar rencana ekspor kayu bulat ke Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian
JAKARTA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melempar bola panas rencana pembukaan kembali ekspor kayu bulat atau log ke Kementerian Perdagangan (Kemdag) dan Kementerian Perindustrian (Kemperin).
Menurut Menteri LHK Siti Nurbaya wewenang pemberian izin impor kayu gelondongan memang tidak berada di kementeriannya. “Itu (ekspor kayu log) wewenangnya ada di Kemdag dan Kemperin,” ujarnya, Selasa (3/4).
Kementerian LHK sebelumnya memang mengutarakan keinginannya untuk membuka kembali ekspor kayu log. Hal ini dikarenakan banyaknya kayu bulat yang tidak terserap oleh industri pengolahan kayu dalam negeri. Kendati demikian, Siti menyatakan, aturan tersebut masih dalam pembahasan. “Itu (ekspor log) lama pembahasannya, tidak semudah itu,” terang Siti.
Bahkan menurut Siti,pembahasan mengenai rencana membukaan keras ekspor kayu bulat masih belum dampai tahap perizinan. Apalagi sampai saat ini pun belum ada juga keterangan resmi dari Kemdag dalam pembahasan ekspor kayu bulat tersebut.
Keinginan untuk membuka keran ekspor kayu bulat sebelumnya diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian LHK Bambang Hendroyono. Menurut Bambang ada potensi produksi kayu Indonesia mencapai 9 juta meter kubik pada tahun ini. Jumlah tersebut kemungkinan banyak tak akan terserap oleh industry pengolahan kayu.
Potensi produksi kayu akan bertambah seiring berjalannya program perhutanan sosial yang mulai digulirkan pemerintah.
Masih impor kayu
Atas rencana ini Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan masih belum mau memberikan tanggapan. Namun yang pasti, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) membantah produksi kayu Indonesia berlebih saat ini.
Rencana pembukaan ekspor kayu log dinilai hanya digunakan untuk mendorong izin bagi industri hulu mengekspor kayu bulat. “Sebesar 30% bahan baku kami saat ini impor dari Selandia Baru, Amerika Serikat, Swedia, dan Finlandia,” ujar Sekretaris Jenderal HIMKI Abdul Sobur Ke KONTAN, Selasa (3/4).
Sobur bilang impor kayu dilakukan karena kurangnya bahan baku untuk produksi. Akibat produksi yang kurang, harga kayu lokal saat ini juga semakin melonjak. Impor juga dilakukan akibat akses bahan baku kayu di Indonesia masih menyulitkan industri.
Menurut Sobur, harga kayu, seperti kayu jati di Indonesia yang tinggi membuat industri kesulitan. Sobur bilang harga kayu jati berkisar Rp 5 juta hingga Rp 40 juta per meter kubik tergantung kualitasnya.
Harga tersebut berbeda jauh dengan kayu yang diimpor oleh industri untuk memenuhi bahan baku. Kayu yang banyak diimpor berjenis oak, pinus, dan ceri dengan harga berkisar antara US $ 400 per meter kubik. “Kualitas kayu impor memenuhi syarat dan harganya terjangkau,” terang Sobur.
Menurutnya, tingginya harga kayu di Indonesia disebabkan oleh tata niaga kayu yang buruk. Panjangnya rantai distribusi membuat harga kayu menjadi tinggi di tangan industri. “ Tata niaga yang tidak benar ini yang perlu diperbaiki dan bukan dengan membuka ekspor kayu bulat yang membuat industri kayu bingung,” jelas Sobur.
Apalagi ekspor kayu bulat dinilai bertentangan dengan Undang-undang No 3 tahun 2014 tentang perindustrian. Beleid tersebut mewajibkan adanya hilirisasi industri. Sobur mengatakan bila pemerintah bersikeras mengatakan pasokan kayu berlebih, maka seharusnya membuka investasi hilir kayu bukan membuka ekspor kayu bulat.
Sumber: Harian Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan Balasan